Kamis, 30 Agustus 2007

Medh... crbh!!

Hal paling ga pengen diulang lagi sama Medh...
- Kehabisan bensin... ( bulan Agustus ini udah 2X )
- Ngilangin barang2.. ( salah satu Harpotnya Zahra )
- Ketinggalan barang penting.. ( kunci UKS, buku, dompet, dll )
- Suka stres sendiri.. ( waduh,, udah sindrom e.. can’t work under press )
- Uring2ngan ga jelas.. ( kata orang, salahkan pms,, walaupun ga salah )
- Sok banget.. ( Cuma ngerasa sok tau aja )
- Bisa kehilangan akal sehat kalo lagi gila!! ( sperti melajukan motor sampe motornya bunyi tek-tek-tek..)
- Menjadi bodoh..( kalo emang dasar e,, njuk piye )
- Suka tiba2 kangen sama mreka ( Isma, Bayu, kawan2 di Bogor, kucing2Q, Diia, teman2Q.. smuanya lah )
- Pengen mnangis karna mrasa sebal.. ( pada diri sendiri)
- Hopeless banget..( kalo lagi liat diia sama cwe laen)

Lalu2,, bagaimana caranya biar medh tak mengulaginya lagi???






Inspirasi...kemana kaw pergi???

Jangan berpikir aku mengidap sindrom narsis seperti yang dialami beberapa remaja lainnya. Aku hanya ingin membagi pengalamanku pada kalian. Aku adalah siswa di sebuah SMA Negeri di Jogja. Denagn pengalamanku aku berhasil belajar hidup dengan baik di sekolahku. Mengapa aku berkata demikian? Aku telah mengalami banyak hal dalam hidupku sehingga membuatku berubah.

Aku sedang berjalan di lorong sekolah ketika sahabatku, Andin memanggilku.
“ Ila...tungguin donk.”
“ Buruan...” Andin lalu berlari menghampiriku,” kenapa sih?”
“ Nggak papa, cuma mau bareng aja,” kata Andin, masih dengan napas yang tersengal.
“ Oh, kirain ada apaan.”
“ Eh iya, kamu ikut panitia gelar seni kan?” tanya Andin.
“ Ikut, emang kenapa??”
“ Nggak papa, tanya doank.”

Lalu,, apa selanjutnya??
Medh kehilangan inspirasi...









Pantes Ga???

Sebuah lukisan tergeletak di pinggir sungai, basah, tetapi tidak rusak. Lukisan seekor anjing yang terlihat galak, tetapi sangat artistic. Kubawa lukisan itu pulang. Aku sama sekali tidak menyangka nasibku akan berbeda setelah membawa lukisan ini.
Tidak jauh rumahku dari pinggir Sungai Ciliwung. Daerah ini memang sudah terkenal kumuh. Aku sendiri hanya orang bisu yang tidak berguna. Aku bisu sejak dilahirkan. Lucu sekali, aku bahkan tidak tahu siapa orang tuaku. Kata orang dari panti asuhan yang dulu merawatku, aku terbawa arus sungai saat hujan deras.
Sekarang aku sudah dewasa. 23 tahun, sudah cukup dewasa untuk menukah, tapi aku yang hanya lulusan SMALB tidak pernah berani mendekati wanita. Walaupun aku adalah lulusan terbeik dan kata mereka aku tak kalah pintar dengan orang normal, aku tetap tidak berani untuk melamar pekerjaan. Bagaimana bisa, apa yang akan kukatakan saat aku tes wawancara. Sedih memang. Tapi kesedihan itu sudah menjadi makananku sehari-hari.
Sudah sampai aku di rumahku. Tumpukan kardus dan atap dari seng bekas inilah yang kusebut rumah. Kutaruh lukisan ini di dekat tempat tidurku, taksalah lagi, tempat tidurku juga tumpukan kardus yang kugunakan sebagai alas.
Tak sadar berapa lama aku melihat lukisan itu. Aku merasa semakin aku melihatnya, aku semakin suka dan sepertinya ada daya tarik yang tersimpan dibalik lukisan itu.
Lukisan dengan latar belakang berwarna putih dan dibalut dengan warna kebiru-biruan itu menggambarkan seekor anjing yang sedang marah dengan potongan tulang di dekat kakinya. Mungkin ini salah satu penyebab aku sangat tertarik dengan lukisan itu. Anjing itu juga tak suka diganggu apalagi saat sedang makan seperti itu. Aku tahu perasaan anjing itu. Aku juga terlalu sering dimaki karena aku mengambil makanan bekas yang sudah dibuang di tempat sampah. apa salahku? Aku hanya mengambil sesuatu yang sudah tak berguna bagi mereka.
Sudah larut rupanya. Aku tak punya jam, jadi aku hanya bisa memperkirakan waktu dari matahari. Suara adzan maghrib terdengar cukup keras di telingaku. Segera kusambar sarungku yang sudah sangat lusuh itu dan segera ke masjid di dekat rumahku. Aku mengambil air wudhu dan segera ikut shalat berjamaah dengan yang lainya. Di masjid inilah aku merasa sangat tenang, walau tak mewah seperti masjid Baiturrahman yang pernah kulihat di tv tetanggaku, aku sangat senang berada di tempat ini.
Selesai shalat, aku tidak pulang. Seperti biasa aku menunggu di masjid untuk mengikuti shalat Isya. Sesekali aku mengambil Al-Quran di masjid in iuntuk kubaca. Tapi kali ini aku ingin merenung tentang lukisan itu. Sebenarnya apa yang ada dibalik lukisan itu. Aku mengutarakan isi hatiku pada Sang Khalik. Saat aku sedang merenung tibe-tiba kulihat seeorang yang sedang bertanya kepada salah satu jamaah masjid. Aku tertarik mendekatinya karena sepertinya dia sangat kesusahan. Walalupun aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku ingin sekali membantunya.
Sekilas aku merasa dia terus memperhatikanku dengan tatapan mata yang cukup aneh, tapi saat kulihat tanganya membawa tongkat yang terbuat dati kayu aku menyadari bahwa dia memiliki kerusakan pada matanya.
” Pak, apa Bapak benar-benar tidak tahu ada lukisan yang hanyut,” katanya dengan suara yang bergetar.
” Maaf mas, saya benar-benar tidak tahu,” kata orang yang ditanyanya.
Spontan aku menyadari, lukisan yang kubawa itu miliknya. Bagaimana ini, aku ingin mengatakan kepadanya tetapi aku tidak bisa bersuara. Aku menepuk pundaknya dan dia memandangku. Aku mencoba menuliskan huruf isyarat di tanganya dan berhasil. Dia mengerti apa yang kutulis. Aku menulis ’ maaf, sepertinya saya tahu lukisan kamu’. Dia langsungmenjawab ” Benar itu mas? Terimakasih ya mas, bisa antar saya ke tempat lukisan saya?” tanyanya. Aku menulis lagi ’bisa’.
Selama perjalanan, dia bercerita banyak tentang dirinya. Rupanya dia mengidap penyakit mata yang sangat parah. Dia hampir buta, tapi masih bisa melihat, itupin dengan jarak yang sangat dekat. Maka dari itu aku pun mengerti bagaimana perasaanya saat tahu lukisanya hilang.
Aku juga bercerita tentang diriku. Aku banyak menulis ditanganya, kadang dia mengangguk arti mengerti. Entah mengapa aku merasa cocok denganya. Laki-laki ini sepertinya sebaya denganku. Saat aku menceritakan pengalaman saat sekolah, dia berkata padaku,” Jangan-jangan mas ini Mas Rizal ya?”
Aku kaget, bagaimana dia bisa mengetahui namaku. Saat itu dia tersenyum.
” Mas, saya juga bersekolah di SMALB tempat mas belajar. Saya sangat ingin bertemu dengan mas,” katanya. Sudah sampai rumah, aku mempersilakanya masuk. Didalam rumah aku bertanya padanya, mengapa dia ingin bertemu denganku.
” Maaf mas, saya lupa. Saya Arif, adik kelas mas. Waktu itu saya banyak mendengar tentang seorang laki-laki yang sangat cerdas. Mungkin mas satu-satunya murid yang dilepas oleh sekolah hanya dalm waktu tiga tahun, saya sendiri lima tahun beru bisa lulus,” katanya. Ada perasaan bangga dihatiku.
” Mas, saya itu sangat mengidolakan mas lho, bahkan lukisasn itu sebenarnya saya buat unutk mas. Maaf ya mas kalo mas tersinggung saya gambar dengan umpama anjing, tapi maksud saya sebenarnya adalah melukiskan perjuangan mas untuk melawan segala keterbatasan dan kekurangan. Dari lukisan itu dapat digambarkan bagaimana perjuangan mas untuk hidup. Saya sudah mendengar kisah mas. Dan saya sangat bangga atas perjuangan mas. Sejak lahir mas pun sudah berjuang dengan untuk bertahan hidup di sungai. Benar-benar mengagumkan,” katanya panjang lebar.
Aku menulis ’tidak, aku sama sekali tidak tersinggung, bahkan aku terharu karena ada orang yang mengagumiku’. Tak terasa ada sebutir air mata haru yang mengalir dari mataku.
” Rupanya lukisan ini telah smpai padamau, kalu begitu aku bahagia mas,” katanya.
Aku menulis banyak terimakasih padanya. Sejak saat itu, entah aku sadari atau tidak aku jadi mengaguminya.
” Oh ya mas, mas mau ga tinggal di rumah saya?” tanyanya. Perasaan senang sempat menghampiriku, tapi aku sudah terlanjur mandiri dan tidak ingin menyusahkanya. Aku menolaknya. Dari raut wajahnya aku bisa melihat kesedihanya.
” Mas, saya mohon,” katanya memohon. Tapi aku tetap menolak.
” Gini aja mas, kalo mas ga betah tinggal di rumah saya, mas bisa pergi, tapi tolong selama seminggu ini mau ya nginep di rumah saya,” katanya. Aku hendak menolak, tapi saat kulihat ketulusan di matanya, aku pun terenyuh. Aku menerima ajakannya.
Adzan Isya sudah terdengar, aku mengajaknya shalat, tapi ternyata dia non-Islam. Aku memintanya menunggu di masjid selama aku shalat. Selesai shalat aku membantunya membawa lukisan itu dan berjalan menuju rumahnya. Rupanya sudah ada mobil yang menunggu kami di depan gang yang menuju perkampunganku.
” Mari kak masuk,” kata Arif mempersilakanku masuk mobinya.
” Ayo pak berangkat,” kata Arif pada sopirnya.
” Iya mas,” jawab sopir iru padanya.
Di dalam perjalanan banyak sekali ceritanya padaku. Bagaimana dia pertama kali mengenalku. Bangga rasanya. Rupanya Arif mengenalku saat aku dipanggil untuk menerima trophy hasil kemenanganku pada lomba sains khusus SLB.
Masih tersimpan jelas di memoriku saat aku dipanggil maju dan menerima hadiah dari sekolah. Mungkin trophy itu masih ada di rak kepala sekolah saat ini.
Arif melanjutkan ceritanya. Bagaimana dia bisa sampai terinspirasi olehku hingga bisa menyelesaikan sebuah lukisan yang kutemukan tadi sore
dst,,dst,,

pantes ga ya kayak gini dikirim buat lomba cerpen???